Pages

Tuesday, May 24, 2011

Catatan Kecil

                Saat itu saya dan kakak saya tengah melintas di jantung kota Jogja – Jl. Malioboro – jalur searah yang dipadati kendaraan bermotor, pedagang kaki lima, parkiran, dan pejalan kaki setiap malam minggu. Motor kami terjebak di antara ratusan mesin-mesin berderu. Saking padatnya kendaraan merayap perlahan-lahan seperti barisan kura-kura bercangkang fosfor jika dilihat dari atas . Meskipun akhir-akhir ini kawasan Malioboro dianggap sedang menjajaki “masa manulanya” sebagai primadona pariwisata bagi wisatawan khususnya wisatawan domestik yang mengagungkan malam minggu, kondisi lalu lintas di sana ternyata tetaplah penuh sesak. Butuh kesabaran ekstra untuk mencapai kawasan depan Gedung Negara. Dan semua keriuhan yang didominasi muda-mudi tersebut berpusat di beberapa titik seperti Malioboro Mall, Monumen Serangan Umum 1 Maret, depan Gedung Negara, dan tenda-tenda kaki lima. Gadis-gadis tampil trendi dengan fashion masa kini, celana pensil, T-Shirt ketat, cardigan lemas yang kadang-kadang terlihat lebih murung daripada serbet meja makan, dan sepatu yang ujungnya runcing – mengingatkanku pada sepatu Om Jin dalam sinetron lawas Jin dan Jun. Sedangkan para lelaki – boys tak kalah trendinya, waktu itu SM*SH belum ada, jadi saya sebut saja outfit mereka berkiblat pada casual style a la Giring Nidji mungkin.
Ramenya Jl.Malioboro

Kaki mulai menemani ban membelah aspal, kami berada hampir di depan Malioboro Mall yang berdenyut dengan anggun di balik pesona lampu warna gadingnya. Searah dengan arus lalu lintas, seorang lelaki tua – saya berani berkata sangat tua bertelanjang dada, hanya celana pendek menutup sampai beberapa senti di atas lutut, tanpa alas kaki lagi, ia tengah memikul dagangannya, sandal teklek, alas kaki tempo dulu yang popularitasnya kini kalah telak oleh sandal plastik buatan China. Teklek terbuat dari kayu yang dibentuk sedemikian rupa, tak jarang diukir motif di atasnya, selopnya terbuat dari kulit yang ditempelkan dengan paku mungil ke badan kayu. Saya iba melihatnya, iba karena harus menyadari kakek tersebut seakan-akan hanya akan mengantongi sepersen harapan dari total seratus yang ia genggam dari rumah. Tuhan memang Maha Adil dalam menakar rezeki manusia, tapi saya sebagai manusia berpandangan bahwa nama teklek telah terhapus dari memori manusia beserta kesederhanaannya. Dan kakek tersebut yang jalannya perlahan, ia tidak seharusnya memilih teklek-teklek itu sebagai partner bisnisnya. Entah. Terlepas dari perasaan iba itu, saya mengalihkan perhatian pada teklek itu sendiri. Manusia masa kini memuja kepraktisan dan efisiensi – apapun lah yang melancarkan mobilitas mereka (mungkin beberapa orang pernah mendengar pepatah the higher you are the less you carry). Dibandingkan dengan sandal plastik buatan pabrik, teklek bisa dibilang kurang nyaman bila dipakai, suaranya yang menyentak-nyentak dan tebal alasnya yang membuat pergelangan kaki harus bekerja lebih ekstra tidak cocok dipakai manusia masa kini.  Pilih mana, lari-lari mengejar busway dengan teklek atau sepatu kets?
Teklek-teklek bersatu melawan kapitalisme!
Satu lagi benda yang masuk dalam kategori langka abad ini. Sejenis mainan murah, lebih murah dari seperangkat alat masak para kurcaci dan glitter glue, terbuat dari berbagai macam bahan ; plastik 1 kg, lilin yang dibentuk menyerupai bebek, dan air yang diwarna menggunakan teres (pewarna kain) – di situ bebeknya akan mengapung-apung di dalam plastik. Di berbagai tempat mungkin mainan ini dinamai dengan nama yang berbeda-beda, di tempat saya kami biasanya menyebutnya dengan bebek-bebekan. Unsur mencerdaskannya memang kurang banyak, bocah hanya membawanya sambil berlarian atau memandanginya dengan kekaguman sambil disuapi sang ibu. Temannya bebek-bebekan ­adalah Apollo, mengapa dinamai demikian? Karena bentuknya tabung panjang seperti pesawat luar angkasa Apollo. Berbeda dengan bebek-bebekan, Apollo sedikit lebih mencerdaskan. Jadi, di dalam plastik yang telah diisi air dimasukkan sumbat sebesar diameter tabung plastik. Jika Apollo dibolak-balik maka sumbat tersebut akan naik turun seperti elevator. Dulu ibu saya sering melarang saya membeli Apollo dan bebek-bebekan alasannya karena pedagangnya yang wajahnya seperti Pak Tile mengambil airnya dari kalen atau comberan. Entah berapa tahun lamanya saya tidak melihat lagi box mainan tradisonal itu diiringi suara othok-othok dan ­suit suit untuk menarik pembeli keliling kampung. Bisa jadi pedagangnya yang sudah tiada atau mainan macam itu memang tak lagi bersua.
So,inilah yang disebut dengan kejamnya zaman. Di satu sisi menyakitkan, di sisi lain inilah yang dinamakan pertumbuhan – karena pertumbuhan adalah cirri adanya kehidupan, peradaban manusia, makhluk tanpa rasa puas.





Source :

0 komentar:

Post a Comment

 
Copyright © Gula Jawa. All Rights Reserved.
Blogger Template designed by Simple Blogger Tutorials. Distributed by Blogger Templates